Hot!

Rebut kembali udara Indonesia dari Singapura

SEPENGGAL bait dalam salah satu lagu perjuangan Indonesia yang berbunyi "Mari Bung rebut kembali…" dapat membakar semangat nasionalisme bangsa. Dikaitkan dengan masalah perbatasan, ruang udara nasional, bahkan dalam pesta olahraga internasional, lagu tersebut sering dikumandangkan. Apalagi lagu tersebut kini sering pula dilantunkan oleh para demonstran.

SAAT ini bangsa Indonesia tampaknya ada yang kurang, bahkan tidak bisa memahami, kenapa sebagian ruang udara nasional Indonesia dikuasai oleh negara asing. Bahkan, ada yang mengatakan, kenapa kita kalau mau ke dapur dari ruang tamu di rumah sendiri harus minta izin kepada tetangga. Suatu kiasan yang menggambarkan kenyataan yang ada.

Memang tidak salah pernyataan atau pandangan tersebut. Dalam kehidupan keseharian pun, manakala ada pesawat terbang Indonesia akan terbang dari Tanjung Pinang atau dari Batam menuju ke Medan atau ke Natuna, maka pesawat tersebut setelah mencapai ketinggian di atas 2.500 kaki harus lapor dan minta izin kepada pengawas penerbangan di Singapura.

RUANG udara di seluruh dunia sudah terbagai habis dalam sektor-sektor di mana tiap sektor dikuasakan kepada otoritas yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengelola (termasuk memungut biaya), seperti yang tercantum dalam RANS Charges.

Si pengelola juga diwajibkan memberi pelayanan navigasi dan fasilitas lain agar tercipta pelayanan penerbangan yang aman dan bertanggung jawab guna menghindari kerugian yang lebih besar, misalnya, tabrakan di udara. Tidak hanya pelayanan penerbangan yang diberikan, tetapi juga jaminan keselamatan termasuk jaminan pertolongan bila memerlukan di dalam sektor yang dikuasai.

Pembagian sektor ini terlepas dari garis batas yurisdiksi nasional suatu negara yang ada di bawahnya. Meskipun pemahaman ini agak sulit dicerna kebanyakan orang, pembagian sektor sangat membantu serta telah disepakati semua negara yang tergabung dalam badan dunia ICAO (International Civil Aviation Organization) dan Indonesia termasuk di dalamnya.

Indonesia sebagai suatu negara yang begitu luas, terbagi dalam empat sektor FIR/Flight Information Regions. Nantinya, pada akhir tahun 2005, hanya ada dua FIR, yaitu Jakarta FIR dan Makassar FIR. Dengan demikian, pembagian FIR tak ada hubungannya dengan batas yurisdiksi nasional suatu negara.

MENGACU pada up dating kesepahaman pengelolaan ruang udara di sebagian ruang udara nasional oleh Singapura, yaitu di sebagian ruang udara Riau (berjarak 60 Nm dari Singapura/melingkar) dalam forum Regional Air Navigation Meeting di Honolulu tahun 1973, kewenangan pengelola adalah memberi pelayanan navigasi pada sektor tersebut.

Sektor ini masuk dalam Singapura FIR yang menyambung dari kawasan Laut China Selatan. Apabila dilihat pada peta udara yang berlaku secara universal, pada peta tersebut tidak tergambarkan batas wilayah yurisdiksi bermakna bahwa pembagian wilayah ruang udara memang hanya terkait langsung dengan keselamatan penerbangan.

Dengan demikian, ruang udara di atas Riau tetap milik Indonesia, sedangkan dalam pelayanan navigasi udara pengelolaan diserahkan kepada pihak lain, yaitu Singapura, termasuk pungutan biaya. Batas FIR yang "mengabaikan" batas yurisdiksi negara juga dialami Indonesia. Selain sebagian wilayah "dikuasakan" kepada Singapura, Indonesia pun diberi kewenangan "menguasai" wilayah udara Timor Leste (semuanya) serta wilayah udara Pulau Christmas milik Australia.

Apa dengan demikian berarti Indonesia menikmati hasil "kutipan" tersebut? Jawabannya adalah "ya" selama pesawat terbang yang memakai jasa pelayanan tersebut lewat di atas wilayah yurisdiksi Indonesia. Dengan demikian, secara ekonomi negara tidak rugi dalam pengelolaan ruang udara dengan adanya pembagian FIR tersebut, termasuk kedaulatan negara juga tidak terusik.

Masalah terkait adalah pemahaman penggunaan ruang udara Military Training Area (MTA) 1 dan 2 yang pernah dihebohkan beberapa tahun yang lalu, di mana Indonesia mengira Singapura memakai wilayah udara (yurisdiksi) untuk latihan militer secara rutin. Padahal, MTA tersebut telah ada sebelum negara Indonesia dan Singapura ini berdiri.

Karena dulunya Singapura selalu meminta izin apabila akan memakai ruang udara tersebut (sejak 1993/sejalan dikembangkannya tempat latihan udara Singapura di Pekanbaru), banyak yang mengira bahwa wilayah tersebut sepenuhnya milik Indonesia.

Memang MTA 1 yang berada di atas ruang yurisdiksi Indonesia sejak awal tahun 2004 sudah tidak dipakai latihan oleh Singapura setelah Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) yang mempunyai otoritas penegakan kedaulatan di udara menyatakan keberatan dan melarang pesawat asing untuk menggunakan wilayah udara tersebut.

Akan tetapi, MTA 2 tetap dipakai Singapura hingga hari ini karena di ruang udara tersebut Indonesia hanya menguasai 20 persen dari ruang udara yang luasnya sebesar setengah Jawa Barat tersebut. Dengan peralatan yang dipunyai saat ini, Kohanudnas mampu memonitor semua manuver pesawat asing yang menggunakan MTA 2 sebagai tempat latihan dan hingga kini tidak ada yang melewati batas atau masuk dalam ruang udara yurisdiksi Indonesia.

PERKEMBANGAN situasi ke depan telah diantisipasi oleh otoritas penegak kedaulatan di udara dengan me-realignment penempatan radar baru. Kalau dalam rancangan terdahulu radar tersebut dialokasikan untuk wilayah timur Indonesia, radar baru yang akan datang September 2005 salah satunya akan digelar di Tanjung Pinang untuk mengganti radar lama yang telah beroperasi selama 40 tahun.

Radar baru seharga 30 juta dollar AS tersebut merupakan pesanan khusus Indonesia berupa radar tiga dimensi dan dipersiapkan untuk dapat beroperasi dalam spektrum perang elektronika. Radar itu merupakan salah satu jenis radar terbaik saat ini.

Dengan rencana penempatan pada ketinggian 450 kaki di atas permukaan laut, semua gerakan pesawat dalam radius 250 Nm dapat terdeteksi. Bahkan, pesawat yang akan tinggal landas pun dapat dimonitor. Apabila pesawat telah terbang beberapa kaki setelah tinggal landas, juga dapat ditentukan jenisnya berdasarkan database yang telah diprogram di dalamnya. Kemampuan lebih ini amat berguna manakala kita sebagai negara berdaulat memerlukannya sesuai dengan peruntukkannya.

Maka marilah tetap menyayikan lagu perjuangan dengan nada yang lebih keras lagi pada bait "Mari Bung rebut kembali…" dengan dilandasi pengetahuan tentang ruang udara. Dengan demikian, negara tetangga yang mendengarkan lagu tersebut tahu bahwa bangsa ini telah paham tentang hukum udara demi keselamatan bersama dan demi kedaulatan pemiliknya.

F Djoko Poerwoko Marsekal Muda TNI, Praktisi Militer


Singapura Kuasai Wilayah Laut dan Udara Kepri


BATAM , Akibat dikuasainya wilayah laut dan udara Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) oleh pihak Singapura, menyebabkan Indonesia berpotensi rugi triliunan rupiah setiap tahun.

Pasalnya, pendapatan dari jasa pandu kapal asing di Selat Malaka dan jasa pandu pesawat udara yang keluar-masuk bandara di Kepri akan hilang.

Demikian diungkapkan Direktur PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) Harry Sutanto di Batam, Senin (12/10).

Menurutnya, Indonesia hanya memiliki kedaulatan atas wilayah daratan di Provinsi Kepri yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia, namun otoritas wilayah udara dan laut dikuasai kedua negara tersebut.

“Itu terlihat dari ketidakberdayaan Pemerintah Indonesia untuk memberikan jasa pemandu bagi kapal-kapal asing yang melintasi Selat Malaka,” ujarnya.

Selama ini, kata Harry, jasa pemandu kapal asing yang melintasi selat malaka itu dilayani Singapura dan Malaysia.

Pemanduan tersebut bahkan memasuki wilayah perairan Kepri, seperti perairan Pulau Iyu Kecil di Kabupaten Karimun hingga Nongsa Kota Batam.

Ironisnya, Pemerintah Indonesia selama ini tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal, Indonesia memiliki pemandu kapal, tapi tidak bisa dimanfaatkan.

Pasalnya, pemandu Indonesia belum mendapat pengesahan dari International Maritime Organization (IMO) selaku badan maritim dunia yang memberi izin kepanduan di Selat Malaka dan Selat Singapura.



Tergantung ATC

Selain wilayah laut, wilayah udara di Provinsi Kepri juga dikuasai Singapura.

Kepala Kelompok Teknisi Keselamatan Hang Nadim Batam, Elfi Amir, mengatakan Bandara Hang Nadim Batam sejak didirikan sampai saat ini masih bergantung pada Air Traffic Control (ATC) milik Singapura.

“Itu sudah berlangsung sejak 9 November 1946 hingga sekarang,” kata dia.

Kenyataan itu sudah pernah diratifikasi pada 1983, namun belum ada hasilnya.

Alasannya, ruang udara di atas Pulau Batam masuk dalam lingkup FIR (Flight Information Region) Singapura, sehingga semua aktivitas udara di kawasan itu menjadi tanggung jawab Singapura.

Kebergantungan Bandara Hang Nadim Batam terhadap Singapura juga disebabkan belum tersedianya perlengkapan jenis Monopulse Secondary Surveillance Radar (MSSR) dan Primary Surveillance Radar (PSR), sehingga untuk kebutuhannya harus menghubungi ATC Singapura.

Bandara Hang Nadim Batam, kata Elfi, baru dilengkapi dengan radar jenis Automatic Defence Surveilanlance Broadcasting (ADSB) yang hanya mampu berhubungan serta mendeteksi pesawat dengan ketinggian kurang dari 3.000 kaki, apabila lebih dari ketinggian tersebut harus menghubungi ATC Singapura.

Pengaturan Wilayah Udara di Utara Perbatasan Kepri

Pemerintah Indonesia perlu mengambil alih pengaturan wilayah udara yang selama ini dikuasai Singapura. Untuk itu, pemerintah harus mulai menyiapkan sejumlah materi yang bisa digunakan dalam pertemuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau ICAO tahun 2013, di samping bernegosiasi di tingkat internasional.

Kepala Keselamatan Penerbangan Bandar Udara Internasional Hang Nadim, Elfi Amir, mengungkapkan hal itu di Batam, Senin (5/10). ”Pemerintah perlu menyiapkan materi pertemuan Radio Air Navigation tahun 2013. Sebelum pertemuan, saya berharap pemerintah menjalin lobi dan bernegosiasi di tingkat internasional,” kata Elfi, seraya mengatakan, pertemuan ICAO berlangsung 10 tahun sekali. Hingga kini belum dipastikan di mana pertemuan ICAO dilangsungkan tahun 2013.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, kata Elfi lagi, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdaulat penuh atas wilayah udara RI. ”Tetapi, selama ini wilayah udara di sekitar Kepulauan Riau masih dikuasai Singapura,” ujarnya.

Pasal 6 UU No 1/2009 menyebutkan, dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara NKRI, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.

Ada tiga hal yang perlu disiapkan untuk mengambil alih pengaturan wilayah udara yang selama ini dikuasai Singapura. Pertama, kata Elfi, penyediaan fasilitas alat navigasi dan radar sesuai dengan standar bandara- bandara internasional, seperti di Singapura. ”Di Bandara Hang Nadim (Batam) saat ini tidak ada radar. Yang ada, radar cuaca. Kita perlu radar dengan teknologi yang cukup tinggi, seperti primary and secondary radar. Dengan radar semacam itu, setiap logam atau pesawat yang ada atau melintas dapat terdeteksi,” katanya.

Hal lain yang perlu disiapkan adalah peningkatan sumber daya manusia, khususnya operator menara bandara, serta prosedur pengambilalihan pengaturan wilayah udara. (FER, Kompas,Selasa, 6 Oktober 2009 )

Singapura Juga Kuasai Ekonomi Indonesia

DI INDONESIA, Temasek selalu mendapatkan yang terbaik. Gergasi Singapura itu sukses mengantongi bank terbaik dalam aspek teknologi dan kartu kredit, Bank Internasional Indonesia (BII). Ada juga Bank Danamon yang andal dalam pembiayaan consumer dan ritel. Di sektor telekomunikasi, Temasek punya Telkomsel dan Indosat—yang jika pangsa selulernya digabung mencapai lebih dari 60%. Di bisnis agro, Temasek menggandeng Eka Tjipta Widjaja, pemilik Grup Sinarmas, membentuk usaha perkebunan sawit.
Sebulan lalu, Temasek berhasil mendatangkan lima pemimpin redaksi media massa terkemuka di Indonesia untuk bertemu Ho Ching, Ibu Negara Singapura cum CEO Temasek. Kini, Temasek memantapkan lagi posisinya di bisnis agro, otomotif, alat berat, infrastruktur, teknologi informasi, dan keuangan di negeri ini. Hebatnya lagi, ekspansi keenam sektor usaha yang sebenarnya amat luar biasa ini berjalan begitu senyap. Nyaris tak terdengar.

Padahal, ekspansi ini menyangkut penguasaan 55% pangsa pasar mobil dan 52% pangsa motor di Indonesia, 42% pangsa pasar alat berat, 31 perusahaan perkebunan dengan total luas lahan 210 ribu hektare, serta jaringan perbankan, asuransi, dan bisnis pembiayaan yang tersebar ke seluruh negeri.

Lantas, bagaimana Temasek bisa berekspansi begitu massif tanpa bisa terdengar? Mudah saja, perusahaan itu tinggal menguasai satu perusahaan di Indonesia yang bisnisnya meliputi enam sektor itu tadi. Dan, gampang ditebak, hanya satu perusahaan di Indonesia yang memiliki sosok seperti itu: PT Astra International.

Astra adalah perusahaan terkemuka di Indonesia. Majalah Business Week menempatkannya di urutan 94 perusahaan terbaik Asia 2006 (nomor dua di Indonesia setelah Telkom). Bisnis utama Astra bergerak di sektor otomotif, dengan memegang penjualan mobil merek Toyota dan motor Honda, dua merek otomotif paling ngetop di sini. Di sektor agro, Astra berkibar lewat PT Astra Agro Lestari dan anak-anak usahanya. Astra juga menguasai 44,5% saham Bank Permata. Belum lagi sahamnya di perusahaan asuransi (Astra CMG Life, Asuransi Astra Buana) dan leasing (Federal International Finance dan Astra Credit Company).

Temasek sendiri memang merupakan penguasa Astra. Betul, aroma Temasek di Astra memang tak begitu tercium. Maklum, masuknya gergasi itu ke Astra dilakukan secara bertahap. Rumit.

Kita tahu, sebanyak 50,11% saham PT Astra International dikuasai oleh Jardine Cycle & Carriage (JCC), sebuah perusahaan dealer mobil asal Singapura. Selama ini, JCC dikenal sebagai anak usaha Jardine Holdings Limited—yang punya hubungan dengan Jardine Matheson Hong Kong.

Namun, laporan keuangan JCC tahun 2006, yang terbit Maret silam, ternyata memperlihatkan bahwa pemegang saham terbesar di JCC adalah Jardine Strategic dengan 63,60%. Namun, Jardine Strategic ini seluruhnya dimodali DBS Trustee, unit usaha DBS Bank yang bermain di bisnis trust fund. Di Indonesia, Jardine Strategic juga memiliki nyaris seluruh saham Hotel Mandarin Oriental.
Seluruh saham DBS Trustee dikuasai DBS Bank. Unit usaha DBS Bank lainnya, DBSN Services, juga punya saham di JCC sebanyak 4,39%. Sebanyak lebih dari 67% saham DBS Bank sendiri dikuasai oleh Temasek Group, baik secara langsung maupun melalui unit usahanya yang lain seperti Maju Holdings, DBS Nominees, atau Rafless Nominees.
Purbaya Yudi Sadewa, Kepala Tim Riset Danareksa, menuturkan, melihat komposisi pemegang saham JCC, maka jelas terlihat betapa Temasek sudah merangsek ke Astra. Yudi mengakui, jarang pelaku pasar yang ngeh dengan gejala itu. Tapi, kalau Temasek confirmed menguasai Astra, maka nilai saham Astra bisa terangkat lagi. Di mata pelaku pasar, Temasek adalah nama besar yang punya satu makna: ”bawa untung”. Makanya, kehadiran imperium bisnis itu di sebuah perusahaan selalu dinilai sebagai sentimen positif.

TADINYA, JCC MAU DIBELI ANAK ASTRA
Tapi, itu cuma anggapan pelaku pasar finansial. Di mata ekonom seperti Iman Sugema, ekspansi Temasek seperti itu jelas mencemaskan. Iman menilai, merajalelanya Temasek di negeri ini mencerminkan lemahnya ketahanan ekonomi nasional. ”Dan kita selalu terlambat menyadari adanya kesalahan itu,” ujar Iman.
Yanuar Rizki, seorang analis pasar modal, sependapat dengan Iman. Yanuar bilang, masuknya Temasek ke Astra menjadikan BUMN Singapura itu mutlak menguasai Bank Permata. Dan itu semakin menegaskan ambisi Singapura untuk menjadi financial hub di kawasan Asia. Apalagi, Temasek sudah memiliki jaringan teknologi informasi di Indosat dan Astra (lewat PT Astratel Nusantara, Intertel Nusaperdana, dan Astra Graphia).
Astra dan Standard Chartered Bank (Stanchart) masing-masing berbagi 44,5% saham Bank Permata. Sebanyak 12% saham Stanchart juga dikuasai Temasek. Penguasaan Temasek di Stanchart, yang hanya 12% itu, sudah cukup menjadikan Temasek sebagai pemegang saham mayoritas di Stanchart. Kabarnya, Temasek juga akan menambah porsinya di Stanchart hingga 51%.
Sayang, tak ada pejabat Astra yang bisa menjelaskan masuknya Temasek ke perusahaan tersebut. Surat yang dikirim ke manajemen Temasek juga belum terbalas. Seorang manajer penting di Astra mengatakan, sangat sensitif membicarakan penguasaan Temasek di Astra, mengingat citra Temasek yang agak kontroversial. Tapi, ia juga membisikkan, Temasek masuk ke Astra bukan baru sekarang. ”Sejak dulu, sejak Astra dilego BPPN,” katanya.

Di saat krisis, Astra sempat oleng lantaran aset para konglomerat pemilik Astra saat itu—termasuk yang di Astra—dijadikan jaminan utang mereka di sejumlah bank yang dirawat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN). Astra pun masuk BPPN.
Maret 2003, sekitar 39,5% saham Astra dijual BPPN ke konsorsium Cycle & Carriage Mauritius. Tahun 2004, C&C Mauritius menambah kepemilikannya di Astra hingga 41,76%. Pada akhir 2004, C&C Mauritius dibeli oleh Jardine Cycle & Carriage (JCC). Lalu, saham JCC di Astra meningkat hingga 50,11%.

Orang dalam Astra tadi bilang, C&C bukan apa-apa. Perusahaan itu hanyalah dealer mobil di Singapura dan Malaysia. Pada 1992, Jardine Strategic Holdings membeli 16% saham C&C. Saham Jardine di C&C lalu bertambah hingga 84% dan nama C&C berubah menjadi JCC. Sebesar apakah JCC kala itu? Kabar ini mungkin bisa memberikan gambaran: pada tahun 1996, JCC sempat akan dibeli oleh PT Astra Otoparts, anak usaha Astra di bidang industri dan perdagangan suku cadang kendaraan, untuk perluasan usaha Astra di negeri jiran. JCC ketika itu jelas bukan bandingan Astra.
Jadi, ketika JCC kemudian mampu menelan Astra, banyak orang Astra sendiri yang bertanya-tanya. ”Kok bisa?”

Ternyata memang bisa. Syahdan, JCC sudah dicukongi Temasek sejak lama. Pembelian Astra oleh C&C Mauritius pun kabarnya dimodali DBS. Pada tahun 2003, saham DBS Trustee di JCC sudah 50,21% dan DBS Nominee 9,09%.

Kini, Astra menjadi mesin uang JCC. Pada tahun 2006 silam, pendapatan JCC mencapai US$ 7,816 miliar (sekitar Rp 65 triliun). Astra sendiri mencatatkan pendapatan Rp 55 triliun. Jadi, 85% pendapatan JCC disumbangkan Astra. Pendapatan JCC lainnya juga datang dari Indonesia, lewat PT Tunas Ridean, sebesar lebih dari Rp 3 triliun. Tunas Ridean adalah dealer motor dan mobil yang 38% sahamnya dikuasai juga oleh JCC.
Ah, makin rumit dan massif, memang, jejaring bisnis Temasek di negeri ini.http://www.majalahtrust.com/fokus/fokus/1301.php

Singapura tetap merasa berhak mengusir pesawat Indonesia dari wilayah NKRI sendiri


Transportasi udara Batam-Natuna terganggu perjanjian militer antara Indonesia dengan Singapura yang membolehkan negara jiran itu menggunakan perairan Kepulauan Riau sebagai daerah latihan perang.

"Pesawat kita jadi harus memutar arah, karena tidak bisa lewat daerah itu," kata Pimpinan Kelompok Teknisi Pemanduan Lalu Lintas Udara Bandara Hang Nadim Indah Irwansyah di Batam, Senin.

Keluhan itu ia sampaikan kepada Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal saat berkunjung ke menara kontrol Bandara Hang Nadim.

Menurut Indah, akibat pemutaran jalur terbang, maka jarak tempuh pesawat menjadi dua kali lipat semestinya. Biaya bahan bakar pun menjadi dua kali lipat.

Indah mengatakan, jika memaksa melewati daerah itu, maka tentara Singapura akan menembak pesawat. "Memang begitu, karena sudah diperingatkan," kata dia.

Menurut Indah, pemutaran wilayah rute di daerah sendiri tidak masuk akal. "Masak kita tidak boleh lewat daerah negara kita sendiri," kata dia.

Sementara itu, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal mengatakan penerbangan Indonesia harus menghormati perjanjian yang sudah disepakati Indonesia dan Singapura.

"Memang tidak bisa dilewati. Itu wilayah militer. Memang jalurnya harus memutar," kata dia.

Ia mengatakan tidak bisa merevisi perjanjian itu karena dibuat instansi lain (Departemen Pertahanan).
loading...

0 comments:

Post a Comment